Bagaimana
pandangan Islam mengenai perayaan Hari Kartini dan bagaimana seharusnya kita menyikapi
perayaan tersebut?
Tidak kita pungkiri bahwa R.A. Kartini termasuk salah
satu tokoh pejuanga di negara kita. Melihat sejarah perjuangan Kartini
menunjukkan bahwa beliau berobsesi agar kaum wanita diberikan hak-haknya,
seperti hak pendidikan dan dihargai kehormatannya. Sebagaimana umumnya
penjajahan, sering kali kehormatan wanita menjadi korban. Kaum wanita Indonesia
khususnya muslimah sejak lama semestinya menyadari sejauh mana relevansi Hari
Kartini yang senantiasa dirayakan setiap tanggal 21 bulan April, dengan
nilai-nilai dan peran serta perjuangan kaum wanita di Indonesia. Sebab pesan
dan nilai yang tertangkap salama ini justru semacam distorsi transformasi nilai
di tengah kaum wanita Indonesia yaitu cenderung terjebak dalam pola
pemberontakan emosional, ekspresi formalitas simbolis, budaya wanita
kejawenisme dengan penampilan konde, kebaya dan busana feodalistik yang
transparan yang justru melecehkan harkat kaum wanita.
Dugaan kuat inilah
membuktikan bahwa, perjuangan Kartini tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan
kesetaraan gender atau perjuangan emansipasi wanita. Celakanya, justru
penampilan busana seorang muslimah tidak
dapat dilepaskan dari identitas muslimahnya termasuk komitmen dalam berpakaian
islami.
Terlepas
dari itu, ada beberapa hal yang patut kita kritisi terkait dengan sikap
masyarakat ketika memperingati hari Kartini.
Pertama: Gerakan Memakai
Kebaya
Tak paham dengan tujuan para wanita yang mengenakan pakaian kebaya. Orang bisa
saja beralasan, “Oh itu dalam rangka meniru baju Kartini”. Tapi apakah itu arti
dan maknanya? Apakah dengan mengenakan
kebaya kita telah dianggap mencerdaskan kaum wanita?
Sementara
kita tau, pakaian model kebaya ini sangat jauh dari pakaian Islami yang menutup
aurat. Padahal menampakkan aurat termasuk dosa besar.
Apa makna: “wanita yang berpakaian tapi
telanjang”?
Para ulama menjelaskan, secara
istilah wanita ini berpakaian tapi hakikatnya telanjang. Seperti memakai
pakaian yang ketat, sehingga menampakkan lekuk tubuhnya, atau pendek, sehingga
menampakkan sebagian auratnya, atau tipis, sehingga transparan dan tembus
pandang. Kain semacam ini, disebut pakaian dari sisi namanya saja. Akan tetapi,
hakikatnya bukan pakaian, karena tidak bisa menyembunyikan aurat ,dan
pelanggaran ini, ada pada kebaya. Jika tidak transparan, minimal ketat, yang
menampakkan lekuk tubuh.
Berikut kriteria pakaian muslimah
yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam
- Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan (Qs: al-ahzab :59)
- Tidak tipis, transparan dan menampakkan bentuk badan dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh.
- Tidak menyerupai pakaian khusus laki-laki (HR. Ahmad). Rasulullah melaknat laki-laki yang meniru penampilan wanita dan wanita yang meniru penampilan laki-laki (HR. Bukhari)
- Tidak meniru dan menyerupai busana khas wanita-wanita musyrik dan kafir. (HR. Muslim) Sabda Nabi saw. : “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.Muslim).
Kedua:
Emansipasi Wanita
Disadari maupun tidak, peringatan
hari Kartini telah ditunggangi oleh ideologi Barat, yaitu ideologi emansipasi
(kebebasan) wanita. Sebenarnya gerakan ini hanyalah meneruskan ideologi usang
yang dulu dikembangkan di Mesir sekitar awal abad 20. Melalui gerakan ini,
corong-corong Yahudi di berbagai penjuru dunia, hendak merusak aturan syariat.
Mereka paham, umat Islam akan kesulitan diajak kembali kepada Alquran dan
sunah, jika syahwat mereka dibangkitkan melalui wanita. Gerakan inilah pemicu
terbesar merebaknya berbagai penyimpangan dan kebebasan pergaulan, menyama
ratakan kaum wanita dengan laki laki yang jelas Allah telah menjadikan laki
laki sebagai pemimpin wanita yang bertugas melindunginya, yang hakikat bahwa wanita lebih lemah dari pada laki laki.
Lalu inikah yang disebut kebebasan? Ataukah justru penghinaan?
Islam
mengajarkan agar wanita menutup aurat, menjaga kehormatannya, dan mengambil
peran penting dalam mendidik keturunannya. Allah berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Tetaplah
tinggal di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (menampakkan aurat),
sebagaimana yang dilakukan masyarakat jahiliyah masa silam.” (QS.
Al-Ahzab: 33)
Allah Ta’ala menggandengkan perintah untuk sering
tinggal di rumah, kecuali jika ada kebutuhan, dengan larangan untuk ber-tabaruj.
Karena umumnya orang yang suka keluar rumah, pasti akan menampakkan auratnya. Istri
menjaga rumah, mendidik anak anaknya agar menjadi generasi yang sholeh dan
sholehah dan suami yang mencari nafkah diluar. Lebih dari itu, gerakan
kebebasan wanita, hakikatnya kembali mengulang adat jahiliyah. Apakah
memberikan porsi penting semacam ini Islam dianggap menistakan wanita?
Padahal islam lah yang mengangkat derajat wanita. Sebelum
datangnya islam wanita hanya menjadi seonggok daging yang lemah tak berdaya. Lalu
benarkan ajang perayaan ini semata mata untuk mengangkat kehormatan dan derajat
wanita atau ingin menjadikan wanita sebagai barang dagangan dan ajang untuk
memuaskan pandangan dan nafsunya?
Ketiga: Kesetaraan Gender
Tidak terdapat bukti konkret yang
menunjukkan bahwa perjuangan Kartini untuk kesetaraan gender. Beberapa
literatur sejarah hanya menunjukkan bahwa beliau ingin agar wanita mendapatkan
hak pendidikan yang layak. Kalaupun beliau ingin memperjuangkan isu gender,
tentu beliau tidak mungkin bersedia menikah dengan bupati Rembang Adipati
Joyodiningrat, yang sudah memiliki istri tiga. Lebih dari itu, hakikatnya isu
ini termasuk bagian ideologi yang dihembuskan Barat kepada kaum muslimin. Kali
ini yang diangkat adalah tema keadilan. Mereka ingin membuktikan bahwa Islam
adalah ajaran yang tidak adil, tidak memberikan kesamaan hak, Islam hanyalah
imperium bangsa Arab, yang ingin dikebunkan di berbagai wilayah jajahannya.
Apapun alasannya, itulah celoteh mereka.
Sebagai
orang yang beriman, kita berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber keadilan. Allah
Dzat yang Maha Adil dan memerintahkan manusia untuk berlaku adil. Dan Allah
membedakan antara laki-laki dan wanita. Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Laki-laki
tidak sebagaimana wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
Dan
berbagai dalil lainnya, yang menunjukkan bahwa syariat membedakan antara lelaki
dan wanita. Adanya syariat yang demikian, karena Dzat yang menurunkan Syariat, Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang terbaik untuk
hamba-Nya. Menyamakan lelaki dan wanita bukanlah aturan yang terbaik untuk
hamba. Karena itu, aturan ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar di
masyarakat, suami yang direndahkan oleh istri tak berdaya karna istri yang
selalu melawan karna mengatas namakan emansipasi wanitanya dan istri yang tidak
menghormati lagi menghargai suami atau setidaknya menyebabkan masyarakat kita
menjadi cacat mental.
Dan perlu ditegaskan lagi sejatinya Islam hanya membolehkan kita
untuk memperingati atau merayakan dua hari raya yang Allah tetapkan, Idul Fitri
dan Idul Adha.
Allah a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar