Senin, 20 April 2015

HARI KARTINI

Bagaimana pandangan Islam mengenai perayaan Hari Kartini dan bagaimana seharusnya kita menyikapi perayaan tersebut?




Tidak kita pungkiri bahwa R.A. Kartini termasuk salah satu tokoh pejuanga di negara kita. Melihat sejarah perjuangan Kartini menunjukkan bahwa beliau berobsesi agar kaum wanita diberikan hak-haknya, seperti hak pendidikan dan dihargai kehormatannya. Sebagaimana umumnya penjajahan, sering kali kehormatan wanita menjadi korban. Kaum wanita Indonesia khususnya muslimah sejak lama semestinya menyadari sejauh mana relevansi Hari Kartini yang senantiasa dirayakan setiap tanggal 21 bulan April, dengan nilai-nilai dan peran serta perjuangan kaum wanita di Indonesia. Sebab pesan dan nilai yang tertangkap salama ini justru semacam distorsi transformasi nilai di tengah kaum wanita Indonesia yaitu cenderung terjebak dalam pola pemberontakan emosional, ekspresi formalitas simbolis, budaya wanita kejawenisme dengan penampilan konde, kebaya dan busana feodalistik yang transparan yang justru melecehkan harkat kaum wanita. 
Dugaan kuat inilah membuktikan bahwa, perjuangan Kartini tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan kesetaraan gender atau perjuangan emansipasi wanita. Celakanya, justru penampilan busana seorang muslimah  tidak dapat dilepaskan dari identitas muslimahnya termasuk komitmen dalam berpakaian islami.
Terlepas dari itu, ada beberapa hal yang patut kita kritisi terkait dengan sikap masyarakat ketika memperingati hari Kartini.
Pertama: Gerakan Memakai Kebaya
Tak paham dengan tujuan para wanita  yang mengenakan pakaian kebaya. Orang bisa saja beralasan, “Oh itu dalam rangka meniru baju Kartini”. Tapi apakah itu arti dan maknanya?  Apakah dengan mengenakan kebaya kita telah dianggap mencerdaskan kaum wanita?
Sementara kita tau, pakaian model kebaya ini sangat jauh dari pakaian Islami yang menutup aurat. Padahal menampakkan aurat termasuk dosa besar.

Apa makna: “wanita yang berpakaian tapi telanjang”?
Para ulama menjelaskan, secara istilah wanita ini berpakaian tapi hakikatnya telanjang. Seperti memakai pakaian yang ketat, sehingga menampakkan lekuk tubuhnya, atau pendek, sehingga menampakkan sebagian auratnya, atau tipis, sehingga transparan dan tembus pandang. Kain semacam ini, disebut pakaian dari sisi namanya saja. Akan tetapi, hakikatnya bukan pakaian, karena tidak bisa menyembunyikan aurat ,dan pelanggaran ini, ada pada kebaya. Jika tidak transparan, minimal ketat, yang menampakkan lekuk tubuh.

Berikut kriteria pakaian muslimah yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam

  1. Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan (Qs: al-ahzab :59)
  2. Tidak tipis, transparan dan menampakkan bentuk badan dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh.
  3. Tidak menyerupai pakaian khusus laki-laki (HR. Ahmad). Rasulullah melaknat laki-laki yang meniru penampilan wanita dan wanita yang meniru penampilan laki-laki (HR. Bukhari)
  4. Tidak meniru dan menyerupai busana khas wanita-wanita musyrik dan kafir. (HR. Muslim) Sabda Nabi saw. : “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.Muslim).

Kedua: Emansipasi  Wanita
Disadari maupun tidak, peringatan hari Kartini telah ditunggangi oleh ideologi Barat, yaitu ideologi emansipasi (kebebasan) wanita. Sebenarnya gerakan ini hanyalah meneruskan ideologi usang yang dulu dikembangkan di Mesir sekitar awal abad 20. Melalui gerakan ini, corong-corong Yahudi di berbagai penjuru dunia, hendak merusak aturan syariat. Mereka paham, umat Islam akan kesulitan diajak kembali kepada Alquran dan sunah, jika syahwat mereka dibangkitkan melalui wanita. Gerakan inilah pemicu terbesar merebaknya berbagai penyimpangan dan kebebasan pergaulan, menyama ratakan kaum wanita dengan laki laki yang jelas Allah telah menjadikan laki laki sebagai pemimpin wanita yang bertugas melindunginya, yang hakikat  bahwa wanita lebih lemah dari pada laki laki. Lalu inikah yang disebut kebebasan? Ataukah justru penghinaan?
Islam mengajarkan agar wanita menutup aurat, menjaga kehormatannya, dan mengambil peran penting dalam mendidik keturunannya. Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Tetaplah tinggal di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (menampakkan aurat), sebagaimana yang dilakukan masyarakat jahiliyah masa silam.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Allah Ta’ala menggandengkan perintah untuk sering tinggal di rumah, kecuali jika ada kebutuhan, dengan larangan untuk ber-tabaruj. Karena umumnya orang yang suka keluar rumah, pasti akan menampakkan auratnya. Istri menjaga rumah, mendidik anak anaknya agar menjadi generasi yang sholeh dan sholehah dan suami yang mencari nafkah diluar. Lebih dari itu, gerakan kebebasan wanita, hakikatnya kembali mengulang adat jahiliyah. Apakah memberikan porsi penting semacam ini Islam dianggap menistakan wanita?
Padahal islam lah yang mengangkat derajat wanita. Sebelum datangnya islam wanita hanya menjadi seonggok daging yang lemah tak berdaya. Lalu benarkan ajang perayaan ini semata mata untuk mengangkat kehormatan dan derajat wanita atau ingin menjadikan wanita sebagai barang dagangan dan ajang untuk memuaskan pandangan dan nafsunya?
Ketiga: Kesetaraan Gender
Tidak terdapat bukti konkret yang menunjukkan bahwa perjuangan Kartini untuk kesetaraan gender. Beberapa literatur sejarah hanya menunjukkan bahwa beliau ingin agar wanita mendapatkan hak pendidikan yang layak. Kalaupun beliau ingin memperjuangkan isu gender, tentu beliau tidak mungkin bersedia menikah dengan bupati Rembang Adipati Joyodiningrat, yang sudah memiliki istri tiga. Lebih dari itu, hakikatnya isu ini termasuk bagian ideologi yang dihembuskan Barat kepada kaum muslimin. Kali ini yang diangkat adalah tema keadilan. Mereka ingin membuktikan bahwa Islam adalah ajaran yang tidak adil, tidak memberikan kesamaan hak, Islam hanyalah imperium bangsa Arab, yang ingin dikebunkan di berbagai wilayah jajahannya. Apapun alasannya, itulah celoteh mereka.
Sebagai orang yang beriman, kita berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber keadilan. Allah Dzat yang Maha Adil dan memerintahkan manusia untuk berlaku adil. Dan Allah membedakan antara laki-laki dan wanita. Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
Laki-laki tidak sebagaimana wanita.” (QS. Ali Imran: 36)

Dan berbagai dalil lainnya, yang menunjukkan bahwa syariat membedakan antara lelaki dan wanita. Adanya syariat yang demikian, karena Dzat yang menurunkan Syariat, Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Menyamakan lelaki dan wanita bukanlah aturan yang terbaik untuk hamba. Karena itu, aturan ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar di masyarakat, suami yang direndahkan oleh istri tak berdaya karna istri yang selalu melawan karna mengatas namakan emansipasi wanitanya dan istri yang tidak menghormati lagi menghargai suami atau setidaknya menyebabkan masyarakat kita menjadi cacat mental.

Dan perlu ditegaskan lagi sejatinya Islam hanya membolehkan kita untuk memperingati atau merayakan dua hari raya yang Allah tetapkan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Allah a’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar